Memfasilitasi Lansia Hidup Sejahtera

Bondowoso, 01/10 (ANTARA) - Perjalanan semua orang menjadi lanjut usia atau lansia adalah keniscayaan yang tidak mungkin bisa ditolak. Untuk mengingatkan kepedulian terhadap populasi manusia berusia lanjut itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Internasional Lanjut Usia yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober.
Banyaknya populasi lansia berkorelasi dengan meningkatnya usia harapan hidup (UHH). Semakin meningkat UHH, maka semakin banyak juga jumlah orang lansia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan rata-rata UHH penduduk di Indonesia. Kalau pada 2023 UHH masyarakat Indonesia mencapai 72,13 tahun atau sekitar 72 tahun 1 bulan 17 hari, pada 2024 menjadi 72,39 tahun atau sekitar 72 tahun 4 bulan 20 hari.
Jika kriteria lansia itu adalah berusia 60 tahun ke atas, maka dengan meningkatnya rata-rata UHH ini menunjukkan semakin banyaknya jumlah lansia di negeri kita.
Bahkan, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mencatat Indonesia diprediksi akan mengalami lonjakan populasi lansia pada rentang tahun 2035-2040, dengan komposisi sekitar 17 hingga 20 persen dari komposisi demografi penduduk.
BRIN memprediksi, pada tahun 2035 jumlah lansia bisa mendekati dua kali lipat dari tahun 2020. Jika pada 2020 jumlah lansia mencapai 26 juta jiwa, maka pada tahun-tahun mendatang bisa mencapai 52 juta jiwa.
Di satu sisi, meningkatnya usia harapan hidup itu menggembirakan, tapi di sisi lain juga menuntut pengelolaan yang baik agar hal ini tidak menjadi masalah.
Kenyataan ini memerlukan pemetaan, sekaligus rencana penanganan oleh pemerintah, dengan melibatkan kelompok masyarakat atau individu, sehingga semakin banyaknya jumlah lansia tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Lewat beberapa lembaga dan kementerian, pemerintah telah meluncurkan sejumlah program yang arahnya mengupayakan pemberdayaan kepada para lansia.
Secara pribadi, baik yang saat ini sudah berstatus lansia maupun yang akan menuju lansia, sangat perlu meningkatkan literasi untuk menyiapkan diri agar tetap berdaya di usia yang tidak lagi muda.
Literasi mengenai persiapan menjadi lansia ini penting untuk memastikan seseorang atau sekelompok orang tetap sehat dan produktif di usia lanjut tersebut. Untuk itu diperlukan persiapan diri memasuki fase hidup yang secara fisik dan mental mengalami penurunan fungsi itu.
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) atau Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meluncurkan Program Lansia Berdaya (Sidaya) sebagai solusi untuk menyiapkan lansia yang sehat, produktif, dan anti-kesepian.
Program ini hadir untuk memastikan para lansia tetap sehat secara fisik maupun mental atau jiwa melalui aktivitas yang menyenangkan. Kegiatan ini juga menjadi sarana menambah angka harapan hidup dan indeks kebahagiaan kaum lansia.
Dalam program ini, pemerintah memfasilitasi lansia untuk menikmati pendidikan, mengikuti pengajian, dan kegiatan olahraga yang menyenangkan.
Selain untuk menunjang pemeliharaan kesehatan fisik dan psikis, program ini juga merangsang para lansia untuk sehat secara sosial.
Dengan memenuhi tiga aspek kesehatan ini, maka lansia tetap memiliki makna berharga bagi keluarga, lingkungan, bahkan negara.
Sebaliknya, menjadi lansia yang bermasalah dengan kesehatan, bukan berarti hanya si lansia itu yang menanggung dampaknya, melainkan juga berdampak secara komunal, baik bagi keluarga maupun dalam konteks sebagai bagian dari warga negara.
Jika sebelumnya, lansia itu bisa produktif secara ekonomi, kemudian, karena terkendala oleh sakit, peluang itu menjadi hilang.
Secara tenaga, pikiran, dan waktu, lansia yang tidak sehat itu mengharuskan keluarganya untuk melayani dan merawat.
Karena itu, penyiapan diri menghadapi masa lansia menjadi penting untuk disosialisasikan sejak dini.
Secara umum, kondisi kejiwaan yang dihadapi para lansia adalah kesepian. Selain mobilitas fisik yang sudah tidak maksimal, lansia juga menghadapi kenyataan bahwa lingkaran pertemanannya semakin berkurang.
Menghadapi kenyataan seperti ini, maka dukungan keluarga menjadi sangat penting.
Keluarga yang mendapatkan amanah untuk mengayomi lansia harus menyiapkan mental untuk membersamai mereka menjalani sisa hidupnya.
Belajar penerimaan
Selain menyiapkan lingkungan yang akan bertugas mengasuh lansia, hal yang justru lebih penting adalah si lansia sendiri menyiapkan mental untuk melakoni hidup dengan penuh penerimaan.
Mereka yang terbiasa menuntut segala sesuatu harus sesuai dengan yang diinginkan, bisa memulai belajar berdamai dengan keadaan yang tidak mesti selalu sesuai dengan harapan itu.
Peran psikolog dan agamawan diperlukan untuk mengedukasi para calon lansia agar terbiasa dengan jiwa yang selalu menerima. Kalau dalam konteks agama, hal ini lebih dikenal dengan sebutan ikhlas.
Agamawan mempersiapkan mental calon lansia menggunakan konsepsi ketuhanan bahwa sejatinya hidup adalah pasrah total pada kehendak Tuhan.
Jika di masa muda, kita didoktrin bahwa hidup itu harus memiliki impian-impian besar, bahkan ambisi, pada usia menjelang lansia, doktrin itu harus mulai diminimalkan energinya.
Dari sisi psikolog, narasi agama mengenai ikhlas itu bisa dijabarkan secara ilmiah, khususnya terkait dengan dampaknya bagi kesehatan mental dan fisik.
Dengan pendampingan dari dua sisi itu, jiwa seorang lansia harus terlatih untuk selalu berada di zona damai dan bahagia.
Untuk contoh praktis, calon lansia harus mulai belajar berkompromi dengan pola hidup anak-anaknya, terutama yang sudah berkeluarga.
Kebiasaan mengatur si anak, yang dalam pikiran bawah sadarnya mungkin masih dianggap sebagai anak kecil harus mulai ditanggalkan. Anak-anak mereka sudah dewasa dan memiliki harapan dan kriteria ideal tersendiri mengenai hidup, yang boleh jadi bertentangan dengan kriteria si orang tua.
Dengan demikian, semua sama-sama belajar, bagaimana sebaiknya menjadi dan menjalani hidup sebagai lansia, serta bagaimana menghadapi dan membersamai kaum lansia. (ANTARA/Masuki M. Astro)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.